Beberapa tahun belakangan, hidup rasanya seperti berkelana. Liar. Tanpa tujuan. Entah ke mana. Banyak yang didapat. Banyak yang hilang pula. Yang tersisa; yang tertulis.
Pada Suatu Hari Nanti
Suatu hari nanti,
aku akan turut bersamamu.
Pada pagi buta yang
menyesakkan. Aku akan
menyeduhkan segelas teh untukmu
dan kopi untukku
dan dua buah roti bakar rasa markisa
untuk kita berdua. Kita akan beradu, di
pelataran, rumah kita sendiri. Kau akan
menggendong anak pertama kita
yang kemarin baru saja dicakar
kucing kita yang belum kunjung
kawin.
Pada siang yang tuli,
yang membingungkan. Akan
kutuliskan sebuah surat cinta yang dihias. Kukirim lewat entah apapun yang bisa kugunakan. Lalu akan
kupesankan kau segelas es jeruk
agar kau tenang dan tidak tuli
kembali.
Pada sore
yang membosankan. Aku sudah menunggumu,
di pelataran rumah kita. Akan kuseduh lagi
segelas teh untukmu dan mungkin segelas lagi
untukku, saat itu mungkin aku sudah terlalu tua
untuk segelas kopi. Kita akan beristirahat.
Berbincang soal anak bontot kita yang sebentar
lagi tamat sekolah atau
cucu pertama yang akan segera lahir. Kau
akan tersenyum, mengibas rambutmu yang memanjang dan memutih,
lalu memelukku.
Akan kukecup keningmu pada malam
yang memanggil kita. Penghabisan sudah. Kau
sudah sepenuhnya menjadi milikku seumur
hidup. Dan Dia
akan tercukupi dengan kisah kita. Dan kita akan
lelap, tidur. Hingga entah kapan. Berpelukan.
Tak pernah dan tak
akan kecupanku lepas hingga kita
benar lelap malam itu. Merasa cukup
soal hari kita yang memang
sudah melelahkan.
(13/10/2018)
Dingin
Seruan-seruan malam
menjadi luka yang mengigil.
"Segala yang ada adalah
untuk tiada," katamu.
Kita terlalu sibuk memaknai,
hingga lupa untuk merasai.
(22/09/2019)
Pesimis
Kini aku termasuk yang ada di lalu-lalang.
Tak lagi dapat letih dibela. Berjalan terlalu jauh.
Menghimpir di sebuah bangku panjang.
Aku menunggu. Menanti. Semua melelahkan.
"Nanti mati saja, ya!" terbisik.
Kujawab, "Menarik!"
Mana?
Kutunggu pula itu.
Tak kunjung dijemput.
Menghimpir di sebuah bangku panjang.
Aku menunggu. Mati. Semua melelahkan.
(03/10/2018)
Katamu
Ada jeda yang tak juga selesai
Di antara cerita yang tak kunjung dimengerti
Apa (kau) masih sama?
Derik malam menggigil di luar
Memanggil suara(mu) yang tak lagi didengar
Dingin ini terlalu menggigit
Harus keluar dari jurang ini,
(katamu)
Di tengah ruang kosong yang baru saja ingin diisi.
(05/05/2019)
Kehilangan
Aku baru tahu
rasa kehilangan,
ketika kamu tidak lagi dapat kutemui di manapun:
Di layar telepon genggamku pada pagi hari;
Di tepi telingaku sebelum kuterlelap;
Di dekapanku saat masa sulit;
Di secangkir teh yang biasa kau teguk;
dan
Di setahun lalu ketika ini seharusnya kutulis.
Saat itu aku mengerti
rasa kehilangan.
Semua mimpi buruk.
Kau 'kan ada kembali saat ku bangun nanti
Bahkan kau lah yang membangunkanku
Di sampingku, di saat hujan menjemput fajar.
Tetapi tidak. Aku sedang tidak bermimpi.
Aku kehilanganmu.
kamu tidak lagi dapat kutemui di manapun,
kecuali di kening dan dada sebelah kiri.
(09/12/2018)
Patah Arah
Apapun yang dapat membantunya melupa membantu.
Menari
Menyanyi
Berlari
Berandai
Lalu kembali, semula.
Teringat, bahwa:
Ia payah.
Lalu, kembali.
Ia patah.
(24/09/2018)
Rompak
Hujan adalah perompak yang paling kejam
memaksaku berteduh ke tempat kita dahulu.
Merampas kebebasanku untuk tidak bersedih.
Memantik binar dan tawa yang kau lepas saat itu.
Membawa hangat yang dulu sama kita rasa.
Sekarang kita entah di mana.
Bukan. Kamu entah di mana.
Aku jelas, ada di tempat kita dahulu.
Dipaksa oleh Hujan si perompak yang paling kejam.
Merampok memori dan cerita yang sudah disimpan
entah di mana.
(24/12/2019)
Solitude
Just like the other side of the moon we'll never get to see....
Just like the whistle of the wind we'll never get to hear....
Just like the touch of a dying star we'll never get to feel...
Just like the emptiness of nothingness we'll never get to know...
Solitude; me.
But the sun, somewhere.
It shines.
It waits.
(21/05/2020)