Corona dan Kontemplasi: Diri Sendiri

Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah ide-ide, agama, politik, atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa?

Gue puber lebih cepet dari kebanyakan anak laki-laki—dalam konteks yang konyol. 

Waktu kecil gue sering bertarung dengan monster khayalan di ruang tamu. Kadang gue menang; kadang gue kalah. Lalu ketika gue sudah berhasil mengalahkan monster itu, seperti layaknya power ranger pada umumnya, gue kembali menjadi seorang manusia biasa, yang dalam khayalan gue, gue adalah Ariel Peterpan. Iya. Jadi gue berkhayal bahwa gue adalah Ariel Peterpan ketika bumi lagi aman tapi gue langsung berubah jadi power ranger ketika ada kekuatan mahadahsyat yang akan menghancurkan bumi. SANGAR! tapi bego. 

Khayalan-khayalan ini yang kemudian mempermudah gue cepet puber. Waktu anak-anak lain suka main kejar-kejaran di luar rumah, gue lebih suka mantengin sinetron bareng nyokap. Dari sana, gue jadi punya khayalan sendiri perihal hubungan percintaan yang sempurna. Saat itu, gue percaya bahwa jika gue mau punya cinta yang sempurna, maka gue harus kayak Dude Herlino. Gue harus mau mengorbankan segala sesuatu yang gue punya untuk Alissa Soebandono. 

Besoknya, gue praktekin di sekolah. Gue membeli cincin seribuan di abang-abang tukang mainan, lalu gue berlutut di depan April, cewek yang udah gue suka dari TK. Berlutut. Tiba-tiba—guru masuk dan ngecie-ciein kami. April malu bukan main. Gue syok bukan main . 

Tidak lama setelah itu, gue juga memberi April sepasang sepatu hak plastik yang untuk beli aja gue harus nabung dulu dua bulan. Bedanya, gue memastikan kali ini enggak ada guru yang masuk kelas tiba-tiba. Jadi, gue ngasih sepatu ini di tempat les. Reaksi April kali ini berbeda; dia penasaran dan akhirnya nanya kenapa gue selalu ngasih dia barang-barang begini? Gue gelagapan dan jawab ngasal, "Buat kado ulang tahun kamu." April kemudian menjawab, "Ulang tahun aku kan masih bulan depan..." Guru les masuk dan ngecie-ciein kami. April malu bukan main. Gue syok bukan main. Gak ada bedanya ternyata. 

Ketika gue SMP gue pun pernah melakukan hal serupa. Gue pernah muter-muterin gramedia buat nyari satu buku yang langka banget dan gue kasih ke Merah, cewek yang waktu itu gue suka. Cara ngasihnya pun bodoh. Jadi gue dan dia lagi nungguin angkot pulang. Dia nungguin 128; gue nungguin 19. Ketika angkot dia akhirnya dateng, gue langsung cepet-cepet kasih buku itu yang gue bungkus kertas koran. Kertas koran! 

Semua kebodohan gue nyatanya belum pernah berhasil manis. Belakangan gue baru tau kalo cincin yang gue kasih ke April ternyata dikasih ke temennya sementara sepatu yang gua kasih ternyata gak muat dan dikasih pula ke temennya. Lalu usaha gue muter-muterin gramedia ternyata gak menghasilkan apa-apa karena gue dan Merah enggak pernah lebih dari sekadar temen. Semua ketololan ini hanya membuat gue terbiasa dengan patah hati—sesuatu yang sudah setahun lamanya menyandera gue.

Dari satu patah hati ke patah hati yang lain gue belajar bahwa kita boleh aja memberi apapun yang kita mau berikan ke orang yang kita sayang. Tapi yang perlu kita ingat adalah kita gak boleh berharap apa yang kita berikan suatu saat akan berbalik kepada kita. Kita gak punya hak untuk meminta balasan dari orang yang kita sayang, karena kalo memang kita sayang ya artinya kita hanya mau yang terbaik untuk mereka, bukan? 

Pada akhirnya, yang kita punya adalah diri kita sendiri. Gue ngerasa setiap patah hati yang gue rasain ujung-ujungnya yang sembuh karena diri gue sendiri, bukan orang lain, atau pengganti yang lain. Ini yang gue rasain setahun belakangan setelah putus dari Grey.

Sekitar tiga minggu yang lalu, dua hari sebelum darurat corona, secara gak sengaja gue melihat Grey di Perpustakaan Kampus. Gue—yang tadinya butuh minjem buku buat tugas—langsung puter balik dan lari secepat yang gue bisa. Beberapa hari kemudian, kampus gue diliburin karena corona. Lucu ya? Gak ada hubungannya padahal.