"Our story ends here."
Sejauh ini, yang bisa gue pelajari dari patah hati gue karena Grey adalah bahwa life is a bitch; hidup itu bajingan. Di saat kita berpikir semua baik-baik saja, di saat itu pulalah tiba-tiba ada tahi burung jatuh tepat di ubun-ubun kepala kita. Sialnya, enggak ada yang bisa kita lakuin selain bersikap bodo amat dan melanjutkan hidup dengan, kalau perlu, tertatih-tatih.
Desember lalu, sejauh ini, adalah titik terendah dalam hidup gue. Gue berubah menjadi orang yang tidak gue kenal sama sekali. Gue melakukan percobaan bunuh diri. Percobaan bunuh diri yang serius dan tidak main-main. Tekanan-tekanan dari ospek yang berlangsung dari bulan Agustus sampai Oktober ternyata mempengaruhi mental gue. Gue jadi gampang banget kepikiran hal-hal kecil yang seharusnya tidak gue pikirin. Semua hal kecil jadi hal yang serius buat gue. Gue jadi berlebihan.
Sikap gue yang berlebihan ini mempengaruhi hubungan gue dengan Grey yang pada saat itu sedang ada di masa-masa berantem. Layaknya hubungan orang lain, gue dan Grey juga berantem, tentang banyak hal. Kebanyakan, hal-hal ini adalah hal-hal gak penting yang gue sesali sampai hari ini.
Gue masih inget tanggalnya: 14 Desember 2018. Gue dapet masalah di kampus. Masalah ini ada hubungannya dengan senioritas yang sebenernya enggak parah, tapi emang karena mental gue yang lagi enggak dalam kondisi sehat, masalah ini jadi besar banget untuk gue dan malah jadi beban. Sesampainya di rumah, gue dan Grey berantem. Mental gue gak kuat. Berantem sama orang yang kita sayangin bukan hal yang gampang. Apalagi saat mental kita enggak sehat.
Saat itu, semua seolah enggak penting lagi di mata gue. Gue enggak pengen hidup lagi. Gue capek berantem sama orang yang gue sayang dan gue capek dapet tekanan dari dunia luar. Kesehatan mental gue udah mencapai titik terendah saat itu. Sambil gemetaran, gue mengambil silet yang ada di laci gue. Gue udah enggak bisa mikir lagi.
Darah bercucuran di lantai setelah gue--dengan bodohnya--menyileti tangan gue. Luka yang ada di tangan gue mengeluarkan darah yang bahkan memenuhi celana gue. Kira-kira ada 6 luka siletan yang gue buat. Bodohnya, setelah darah bercucuran, gue malah panik dan minta tolong sama Grey. Dari jarak jauh, Grey mencoba menenangkan gue. Dia mengalah. Dia menyuruh gue untuk cepat-cepat mengobati luka itu, dan gue nurut. Dari telepon gue masih bisa mengingat suara dia menenangkan gue. Dari tangisannya, jelas banget dia ikut panik. Di situ gue nyesel banget, udah bikin orang yang gue sayang sepanik itu.
Malam itu pun gue berbaring lemes di kasur gue. Gue enggak cerita ke nyokap atau bokap gue. Terlalu berat. Grey masih setia nemenin gue lewat telepon. Dia enggak henti-hentinya mencoba nenangin gue, dan gue enggak henti-hentinya nyesel udah ngelakuin hal sebodoh ini. Grey ada di samping gue di malam itu.
Setelah malam sialan itu, gue pun mulai meyusun kembali hidup gue yang hancur berantakan. Gue mulai memperhatikan kesehatan mental gue dengan serius. Gue mulai mencoba mengerti kenapa gue bisa berlaku demikian dan apa yang bisa membuat gue sembuh.
Waktu itu Januari, kuliah lagi libur. Grey lagi di Bali dan gue masih berusaha untuk menyembuhkan 'penyakit' mental gue dan berusaha bangkit. Gue pengen jadi orang yang lebih kuat. Gue gak pengen secemen itu lagi. Gak pengen gara-gara masalah di luar malah orang-orang yang gue sayang jadi tumbal. Tapi di saat itu juga gue mulai merasa, Grey berubah.
Bales chat jadi super lama dan balesannya pun singkat-singkat. Mungkn sms dari operator yang mengingatkan gue kalo masa tenggang kartu gue dikit lagi abis lebih panjang daripada balasan-balasan chat dia saat itu.
Dari situ semuanya mulai turun gunung. Sikap Grey seratus persen berubah. Gue masih mencoba kuat. Gue pengen kuat. Gue pengen kuat buat gue, dan buat Grey. Tapi sia-sia. Puncaknya akhir Januari kemarin. Dia putusin gue.
Gue nangis saat post ini gue tulis. Udah hampir lima bulan dan rasa sakitnya masih sama. Gue yang saat itu pengen berubah karena gue tahu hidup gue tidak seburuk itu karena ada Grey malah hancur berantakan karena ini.
Yang paling bikin gue hancur adalah kenyataan bahwa dia mutusin gue di saat gue udah pengen berubah. Kalau seandainya dia ninggalin gue di saat gue lagi suicidal, gue akan paham. Tapi justru di saat-saat itu dia ada buat gue, dan setelah masalah itu selesai dia malah ninggalin gue. Dia bertahan sama gue di dalam badai tapi ninggalin gue setelah badai itu selesai.
Chat. Dia mutusin gue lewat chat. Dia enggak ngajakin gue ketemu langsung atau gimana. Dia enggak ngasih gue kesempatan untuk ngejelasin di depan dia secara langsung kalau gue benar-benar pengen berubah. Dia enggak ngasih gue kesempatan meluk dia untuk yang terakhir kalinya di depan dia. Gue enggak sempet bilang makasih udah nemenin gue di tengah badai secara langsung di depan dia.
"Our story ends here," tulisnya di chat. Gue hancur baca kalimat itu.
==
Lima bulan bener-bener udah berlalu. Untungnya, gue enggak balik lagi ke badai itu. Gue bener-bener berusaha merubah diri gue ke arah yang lebih baik. Gue jadi rutin yoga. Olahraga yang melintir-melintir badan. Ditambah lagi, gue juga rutin ngegym bareng temen gue yang untungnya mau jadi personal trainer gue.
Lima bulan bener-bener udah berlalu. Sialnya, gue masih enggak bisa move on. Ditambah lagi gue denger kabar dia udah dapet yang baru. Gue enggak kaget. Dia cantik dan baik, pasti banyak cowok yang suka sama dia. Sialnya ada di gue. Proses move on yang udah gue bangun dari hari ke hari runtuh gitu aja. Hari ini, saat gue nulis ini, semuanya seolah-olah balik lagi ke hari itu. Hari di mana dia memutuskan untuk putus sama gue.
Lima bulan bener-bener udah berlalu. Luka silet di tangan gue masih belum hilang. Lima bulan belakangan gue selalu memakai baju lengan panjang untuk menutupi luka itu. Tapi sepertinya mulai hari ini gue enggak akan lagi memakai baju lengan panjang untuk nutupin luka silet ini. Karena mungkin, ada luka yang memang enggak akan pernah hilang dan kita harus bisa hidup damai menerima ini.
Lima bulan udah gue jalanin tanpa Grey. Sepertinya enggak ada satu malam pun yang gue lewati tanpa mimpiin dia. Gue bener-bener kangen sama dia. Gue selalu pengen menulis soal dia, bercerita soal dia, tapi enggak pernah bisa. Gue enggak pernah kuat. Tapi sepertinya mulai hari ini gue memutuskan untuk sebisa mungkin enggak lagi bercerita soal dia. Karena mungkin, dia adalah salah satu cerita yang lebih baik tidak lagi diceritakan, kan?
Lima bulan benar-benar udah berlalu. Mungkin ini saatnya gue sadar bahwa cerita gue dan dia memang sudah berakhir dan gue harus jalan terus, kan?