Tegukan Kopi dan Cerita, Bagian 9: Perjanjian Dengan Hujan

Harum tanah yang barusan, 
Dibawa setenang mungkin oleh hujan. 

Membawaku jauh ke belakang, menuju angan. 
Jika tidak kembali, kaulah tumpuan. 

Wahai puan.  
Bisa kah kau ingat, tanpa paksaan.. 

Kau lah perempuan..  
Yang dulu ku titipi perasaan. 



26/04/2017
          
     Tetes yang pertama turun, lalu membasahi setitik tanah yang pertama. Hujan secara perlahan turun. Pelan tapi pasti menuju deras, rintik-rintik yang selanjutnya membasahi titik-titik tanah yang lainnya. Di tengah-tengah pelajaran Sosiologi, gua menyadari bahwa hujan sudah mulai turun, dan semakin deras. Saking derasnya, suara guru Sosiologi gua sampe enggak kedengeran. 

     Sedari kecil, gua memang orang yang sangat suka dengan hujan. Kalo hujan turun dan gua belum pulang sekolah, pasti gua akan pulang dengan hujan-hujanan, dan bahkan guling-gulingan di jalanan kayak babi mabok. Kalo hujan turun, dan gua udah pulang sekolah, pasti gua akan pergi ke teras, menengadahkan kepala gua ke atas, lalu menikmati hujan, tetesan, dan juga petrikor (bau hujan) yang selalu khas di hidung gua. Dramatis emang, kayak ftv-ftv alay. 

     Begitu juga hari itu. Di tengah-tengah penat pelajaran Sosiologi yang berada di penghujung jam sekolah, gua bengong mengarah ke jendela. Banyak hal yang mengaung di pikiran gua. Mulai dari hal yang paling klasik, kayak PR Matematika yang belum selesai, hal yang gak penting, kayak apa jadinya kalo Naruto berantem sama Mr.Krab, sampe hal yang saat itu baru saja gua rasakan saat itu. Patah hati.

      Memang, sama halnya kayak Indomie Telor, Kopi, dan Buku, patah hati merupakan hal yang yang paling asik buat dinikmatin saat hujan. Udara yang dingin, petrikor, juga irama dari tetesan hujan yang deras seolah bisa mengobrol dengan hati yang baru patah. Hujan, seolah menambah rasa sakit, lalu menyimpulkannya, dan perlahan tapi pasti mengobati rasa sakit yang sebelumnya ia tambah.  

     Sepele. Kata inilah mungkin yang bisa mendefinisikan patah hati gua saat itu. 

     4 hari sebelumnya, gua melihat Ungu tersenyum dengan lebar di Instastorynya. Yang bikin gua patah hati adalah bahwa yang bikin dia tersenyum itu bukan gua lagi. 
           
     Gua melihat dia tersenyum lebar, dan bercanda dengan ceria dengan cowok yang ada di sampingnya. Untuk sedetik, gua ikut tersenyum melihat dia tersenyum, tapi setelah itu gua gemeteran, baru berasa sakitnya pas liat ada cowok lain di sampingnya. 

     Banyak hal soal Ungu yang hari itu gua lamunkan di tengah penat pelajaran Sosiologi saat itu. 

=

     Cowok yang ada di samping Ungu adalah kakak kelas gua yang emang udah dari dulu nunggu si Ungu. Sebut aja si Khuldi. Walaupun si Khuldi dulu pernah deketin Ungu padahal statusnya si Khuldi ini punya pacar, tapi gua yakin kalo si Khuldi ini sebenernya orang baik. 

    Nunggu seorang cewek bukan hal yang gampang. Apalagi kalo gua merefleksikan diri gua dengan si Khuldi ini ibaratkan upil sama batu akik. Gua upilnya. 

     Layaknya Matahari, orang yang jatuh cinta diam-diam gak bisa berbuat banyak. Apapun yang dia lakukan, sebisa mungkin dia pastikan membahagiakan orang yang dia sukai, meskipun diam-diam. Cuman hal inilah yang dapat dilakukan oleh orang yang jatuh cinta diam-diam. 

      Gua selalu beranggapan bahwa Ungu adalah orang yang paling pantes bahagia dibandingkan orang-orang lain, dan gua akan melakukan hal apapun untuk melihat dia bahagia. Klise emang, tapi inilah yang selalu gua usahakan.

===

     Hal yang paling menyenangkan sekaligus menyedihkan untuk orang yang jatuh cinta adalah melihat orang yang dia sayangi bahagia. Menyenangkan bila orang yang ia sayangi tersenyum karena hal yang ia lakukan. Sementara menyedihkan bila orang yang ia sayangi tersenyum bahagia karena orang lain. 
               
     Enggak banyak yang bisa gua lakuin setelah gua sadar kalo senyumnya yang gua liat di Insta Storynya saat itu adalah senyum yang menunjukkan kalo dia bahagia. Keberuntungan memang enggak berada di pihak gua, dia bahagia dengan orang lain. Tapi janji tetaplah janji, gua selalu inget sama janji gua untuk buat dia bahagia, semampu gua. 

     Hujan deras yang masih turun di tengah-tengah pelajaran sosiologi seolah membantu gua menarik kesimpulan. Kalo mulai saat itu juga gua harus menjauhi Ungu. Karena gua yakin bahwa dia bakal lebih bahagia tanpa ada gua di dekatnya, karena udah ada cowok lain yang bisa menggantikan peran gua sebelumnya. Yaitu sebagai orang yang ingin selalu menjaganya. Panggil gua seorang pengecut, bodoh, atau dungu karena udah menarik kesimpulan ini. Gua gak perduli. Karena ya, emang bener. 

     Gua menatap lekat rintik-rintik hujan yang tergambar dari jendela-jendela yang mulai berembun. Secara psikologis, hujan merupakan salah satu hal alami yang dapat menghipnotis manusia. Hujan membantu ingatan kita kembali ke masa lalu. Gua inget semua hal soal Ungu, lalu gua inget senyumnya yang beberapa hari lalu berhasil membuat hati gua patah karena senyum itu bukan gua yang ukir. Lalu perlahan, rasa sakit yang gua rasakan mereda sedikit demi sedikit, mengingat bahwa dia sedang bahagia, dan sudah sepatutnya gua juga ikut bahagia karena dia juga bahagia. Gua kembali mentap jendela, rintik hujan yang semakin menderas seolah tidak sinkron dengan rasa sakit gua yang perlahan menghilang.

       Gua mengambil buku tulis Sosiologi gua yang ada di meja, lalu menulis sebuah perjanjian. Perjanjian yang gua tulis untuk diri gua sendiri. Perjanjian dengan hujan, ritme, rintiknya, dan juga Petrikornya yang selalu gua suka sedari kecil. 


Hujan, datanglah nanti saja.. 
Satu, atau tiga tahun kemudian.. 
Biarkan kemarau yang menikam tumbuh.. 

Aku tidak perduli.. 
Kembalilah saat ia sudah bahagia.. 
Agar dapat kurenungi sedihku sendiri.. 

                   26 April 2017
di sekitar rintik-rintik hujan.

===

         Suatu Malam di Pertengahan Mei

     Lalu di ketidak-sadaranku, 
Hujan kembali turun.. 

Seolah menyadarkan janji yang belum lama dipaku.. 
Melambat semua.. Dihampirinya aku, iramanya seolah mengalun.. 

Dia hanya kembali ketika kau sudah bahagia. 
Ditengah rindu yang terasa, 
Hujan melafalkan dengan pilunya nada.. 

Kau. Bahagia. 
Tanpa adanya aku. 

     Pelajaran Sejarah Wajib gua saat itu diajar oleh seorang guru legendaris yang bernama Karolina Barus, atau Bu Karol. Dia adalah tipe guru yang disaat dia ngajar, jantung semua muridnya berhenti. Tiap dia mendekat, rasanya satu badan mau meledak. Tapi ketika dia melucu, semua ketawa. 30% karena lucu, sisanya karena takut kegampar kalo gak ketawa. Sialnya, di penghujung semester, dia memberikan tugas yang banyaknya gak kehitung. 

     Setelah mengerjakan 60 halaman yang isinya adalah biografi tokoh tokoh nasional dan daerah, gua keluar rumah dan langsung pergi menuju tempat fotokopi untuk menjilid tugas yang sedemikian banyaknya. Di tengah angin malam yang dingin, dan jalan raya yang udah enggak begitu ramai, gua mengutuki tugas ini di dalam hati, karena kalo gua teriak teriak ngeri dikira orang gila, dan ngeri ketauan sama bu Karol. Ya, sebegitu takutnya gua sama dia.

     Sesampainya gua di tempat Fotokopian, gua langsung memberikan tugas gua ke abang-abang fotokopinya biar langsung dijilid. Tapi karena emang lagi rame, akhirnya gua harus menunggu. Gua duduk menghadap Jalan Raya di bangku yang ada di depan Fotokopian ini. Sambil menunggu jilidan gua selesai, gua melamun. Banyak hal yang melintas pikiran gua. Mulai dari tugas Matematika yang udah di penghujung semester tapi masih belum gua kerjain, sampe lagi-lagi, Ungu.

     Sudah berminggu-minggu gua tidak lagi berkontak dengan Ungu. Bukan karena apa, tapi karena gua yang menjauh. Banyak yang sudah gua lewati di minggu-minggu itu, kayak misalnya hari ulang tahunnya si Ungu.

      Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, gua sama sekali tidak mengucapkan apa-apa di hari ulang tahunnya Ungu. Biasanya, lagi serepot apapun itu, setidaknya, gua pasti mengucapkan 'Selamat Ulang Tahun'. Tapi tahun ini enggak, gua sama sekali berusaha menghilang dari Ungu, karena gua masih beranggapan kalo dia udah bahagia dengan cowok lain, dan dia bakalan lebih bahagia tanpa ada gua di sekitarnya.

     Di hari ulang tahunnya, gua bangun lebih pagi dari biasanya. Gua menyeduh kopi, lalu duduk di teras, biar dramatis kayak ftv-ftv alay. Gua tau betul hari itu adalah hari ulang tahunya. Tapi, gua udah niat dalam hati kalo gua enggak akan ngucapin, bukan karena gua benci dia bisa bahagia tanpa gua, tapi lebih karena gua ingin merayakan hari ulang tahunnya cuman dengan segelas kopi dan doa. Ya, segelas kopi dan doa.

      Subuh itu, gua ngopi di teras sambil menghadap langit yang masih gelap. Lalu di kejauhan terdengar sayup-sayup adzan Subuh. Gua pun reflek langsung berdoa di dalam hati. Gua berharap dia yang hari itu ulang tahun semoga bertambah dewasa, bertambah kuat, dan dilindungi oleh Ia yang menguasai alam semesta, Tuhan. Cuman itu yang gua lakuin di hari itu. Sama sekali gua tidak lupa bahwa hari itu adalah hari ulang tahunnya, tapi walaupun inget, gua juga tidak mengucapkan apapun hari itu.

     Beberapa hari kemudian, Ungu ngechat gua. Dia bilang kenapa gua enggak ngucapin, sampe dia nanya dia salah apa sampe gua kesannya menjauh dari dia. Semua itu cuman bisa gua jawab, 'Bukan salah siapa-siapa kok, tenang aja nanti gua jelasin. Enggak sekarang tapi,'.

     Ungu enggak salah apa-apa. Gua, juga enggak salah apa-apa. Yang salah ada perasaan yang gua punya untuk dia. Perasaan yang sekuat apapun gua usahakan, enggak akan pernah bisa terwujud keinginannya.

      Di malam itu, di tengah ramainya antrian tukang Fotokopi, dan lalu lalang kendaraan yang enggak begitu ramai, gua kangen sama Ungu. Gua penasaran kabarnya gimana. Jauh di dalam pikiran gua, gua selalu berharap semuanya kembali normal. Gua dan Ungu masih sekedar dua orang sahabat yang selalu ada untuk satu dengan yang lainnya, atau bahkan gua masih sayang dalam diam sama dia. Tapi disaat itu gua sadar, semua hal enggak ada yang tetap. Semuanya berubah, gua mulai dewasa. Inilah mungkin yang disebut salah satu harga dari hidup, yakni Patah Hati.

     Entah datang dari mana, tiba-tiba hujan turun. Saat itulah gua tersenyum. Beberapa minggu yang lalu gua pernah membuat perjanjian dengan hujan bahwa jika ia turun lagi, berarti Ungu sudah bahagia. Seolah-olah, hujan datang malam itu sekedar memenuhi janjinya, ia datang untuk membawa pesan bahwa Ungu sudah bahagia.

     Kelamaan melamun, ternyata jilidan tugas sejarah gua sudah selesai. Setelah gua membayar, gua meminta dua plastik untuk tugas sejarah ini, istilahnya didouble-in. Setelah melapisi tugas sejarah yang baru gua jilid dengan dua buah plastik langsung, gua langsung naik ke motor gua dan pulang dengan kondisi yang masih hujan deras.

     Di tengah dinginnya malam yang ditambah dinginnya air hujan, malam itu gua menyadari dan mengingat beberapa hal. Gua menyadari bahwa hujan sekali lagi adalah sahabat yang paling bisa diandalkan, dia ingat sama perjanjian yang dulu pernah gua bikin. Lalu gua menyadari lewat turunnya deras hujan malam itu, semesta ngabarin gua kalo si Ungu sudah bahagia, sesimpel itu. Lalu gua ingat sama satu harapan yang lupa gua ucapkan di hari ulang tahunnya beberapa minggu sebelumnya. Yaitu, bahagia. Gua lupa berharap biar dia diberi kebahagiaan yang lebih.

     Akhirnya malam itu, ditengah hujan yang deras dan dinginnya malam, gua berharap kepada Yang Maha Kuasa. Semoga, Ungu diberi kebahagiaan.

     Lalu jauh dalam hati, gua kembali berharap. Semoga gua juga diberi kebahagiaan, walaupun tanpa Ungu.