Ini Cerita Malam Ini, ironi yang ditertawakan si penulis.
Jadi begini, barusan aku lewat jalan yang dulu kita lewati.
Masih sama lurusnya, rindang pohonnya, dan bising kendaraannya.
Tetap saja kurasa ada yang mengganjal, di jalan ini seperti ada yang baru mati.
Nah kan! Teringat lagi mukamu yang dulu pernah kubuat tertawa!
Teringat lagi aku tentangmu.
Tentang semuanya!
Tentang bajumu malam itu, tentang kembang api, dan tentang lentera yang malu malu.
Ah sudahlah! Sudah muak aku mengingatmu! Malam ini akan kulupa!
Palingan kau lagi tertawa riang menerima teks selamat malam dari dia-mu.
Palingan kau kemarin bermalam mingguan di mall yang pernah kita datangi dulu.
Palingan kau sedang tidur memeluk boneka mahal yang dia beli dari negeri ulung abu!
Palingan tidak pernah aku kau ingat walaupun hanya sekilas debu.
Lah! ini kenapa aku jadi ingat kau lagi?
Padahal sudah tidak mau kau kuingat, tadi!
Kalau begitu, begini.
Cerita kita akan kutulis untuk yang kesekian kali.
Lalu akan kutitip pada angin di Senin pagi.
Di Tegukkan Kopi, dan Cerita, Bagian 3: Rasa Sayang dan Selamanya gua sudah menjelaskan tentang semua hal pasti berubah. Semua hal pasti berpindah, itu pasti. Baru-baru ini, semua itu terbukti.
Gua adalah seseorang yang sangat menggemari binatang. Cita-cita paling liar gua adalah suatu hari nanti gua akan punya seekor gajah di halaman depan rumah gua. Entah apa yang nanti di pikiran tamu-tamu yang datang ke rumah gua, gua gak peduli. Gua pengen punya gajah di halaman depan rumah gua suatu hari nanti. Namun sebelum mencapai cita-cita mulia tersebut, gua memulai dengan hal yang kecil. Gua mulai memelihara kucing sejak tahun kemarin.
Kucing adalah hewan yang lucu tapi di sisi lain kucing juga jelmaan setan. Ya, kucing lucu. Tapi sadar enggak sadar, yang kucing incer dari manusia yang memelihara dia cuman makanannya doang. Sisanya, kucing menganggap manusia adalah kucing yang lebih lemah dari dirinya.
November 2016 gua mulai mengadopsi seekor kucing. Kucing ini gua ambil dari teteh parkiran depan sekolah. Katanya, kucing yang gua ambil ini keturunan kucing hutan (yang mana setelah gua adopsi gua malah curiga dia keturunan atau bahkan jelmaan iblis). Warna kucing yang gua adopsi ini adalah abu-abu putih kebiru-biruan.
Gua pernah janji sama seseorang yang namanya Ungu (bukan nama asli) kalo gua punya kucing suatu hari gua akan memberi nama kucing gua Munawaroh. Akhirnya, kucing yang gua adopsi dari teteh parkiran ini gua beri nama Munawaroh. Padahal dia laki-laki. Kasian dan miris emang.
Gua membawa kucing ini ke rumah dengan sebuah kardus aqua yang gua lubangi dengan cukup besar. Gua juga enggak langsung pulang ngebawa kucing tanpa persiapan, gua mampir dulu ke petshop buat beli beberapa perlengkapan melihara kucing. Kayak misalnya tempat bokernya, tempat makannya, sama makanannya. Semuanya gua beli pake duit tabungan gua, bukan karena enggak berani minta duit sama nyokap, tapi karena nyokap gua enggak pernah setuju sama yang namanya kucing. Di saat inilah gua baru inget kalo nyokap gua gak suka kucing, dan gua stress.
Gua duduk sebentar di pinggir jalan. Gua ngeliat ke dus yang berisikan seekor anak kucing jantan yang masih berumur 1,5 bulan. Gua bisa ngeliat tangannya sesekali keluar-keluar lewat lubang yang sengaja gua buat di kardus itu. Gua stress.
Gua menyadari kesalahan yang baru saja gua buat, dengan seenaknya tanpa beban ngeadopsi kucing. Gua gak bisa ngebayangin kalo nantinya kucing yang gua adopsi ini pas sampe rumah ditendang-tendang sama nyokap yang bener-bener anti sama kucing dan segala yang berembel-embel kucing (Tai kucing misalnya).
Akhirnya gua nekat, dan kucing ini gua bawa pulang. Di pikiran gua, hal terburuk adalah kucing ini diinjek-injek sampe mati sama nyokap. Lalu hal yang lebih buruk lagi adalah kalo gua ikut diinjek-injek sampe mati sama nyokap.
Si Munawaroh gua keluarin dari kardus, dan dia dengan antusias berkeliling kamar gua. Dia lari ke pojok, terus lari lagi ke pojok yang lain sambil ngendus-ngendus, entah apa yang dia endus. Sementara itu di pintu kamar nyokap ngeliatin sambil ngomel-ngomel.
"Pokoknya, itu kucing mama gak mau ngurus sama sekali!" nyokap gua keliatannya sebel banget sama si Munawaroh.
Lalu gua kembali memperhatikan si Munawaroh yang baru gua keluarin dari kardus. Sekarang dia duduk di lantai. Mukanya kebingungan, masih ngelirik kesana dan kemari. Lalu dia ngelirik nyokap yang masih berdiri di pintu kamar gua.
"Kucing kayak gitu kok dipelihara." nyokap gua masih keliatan rada sebel sama Munawaroh.
Gua masih diem memperhatikan si Munawaroh. Dia berjalan ke pojok kamar gua dan tiduran.
"Itu nanti makannya apa tuh?" tanya nyokap gua dengan nada yang mulai biasa aja.
"Ya paling kalo umurnya masih segini mah ya susu beruang."
"Terus kalo udah gede?" tanya nyokap yang anehnya mulai dengan nada penasaran.
"Ya yang kayak biskuit-biskuit kecil gitu."
"Beli dimana?"
"Ya gampang lah itu sih."
"Pokoknya Alun yang beli ya! Mama gak mau tau-tauan."
"Iya." jawab gua dengan singkat, padat, dan jelas.
Setelah itu gua kembali memperhatikan Munawaroh. Ternyata sekarang dia udah tertidur di pojokkan kamar gua.
"Kasian ya."
"Hah?" gua kaget. nyokap gua tiba-tiba nyeletuk kayak gitu,
"Iya, dia masih kecil udah dipisahin sama orang tuanya." kata nyokap gua dengan perasan iba.
"Hah?" gua masih kaget.
"Mama beliin susu beruang dulu deh biar dia minum. Haus tuh kayaknya." kata nyokap lalu langsung pergi ke warung. Gua kebingungan.
Gua kembali melihat ke si Munawaroh yang masih tidur dengan nyenyak di pojokan. Gua bersyukur dia enggak diinjek-injek sampe mati sama nyokap. Dan setelah gua liat-liat lagi, ternyata warna bulu si Munawaroh ini mirip banget sama awan mendung. Akhirnya gua merubah namanya lagi. Dari cuman 'Munawaroh' menjadi 'Munawaroh Cloudy'.
Beberapa hari setelah kejadian itu, nyokap jadi sayang sama Munawaroh. Bahkan nyokap menambah, atau singkatnya mempermudah nama 'Munawaroh Cloudy' menjadi 'Mukidi'. Sebenernya nama buat kucing itu enggak ada gunanya. Mukidi tumbuh menjadi seekor kucing yang kalo dipanggil gak dateng, tapi kalo waktunya makan suara ngeongnya sekenceng geledek.
Bulan demi bulan pun berlalu. Nyokap yang tadinya anti banget sama kucing, malah jadi sayang banget sama Mukidi. Segala-gala yang berhubungan dengan Mukidi dia yang ngurusin. Malah dia ngambil kucing liar lain dan diberi nama Bobby. Jadilah sekarang gua punya dua kucing. Bobby, dan Mukidi.
Bobby dan Mukidi tumbuh dewasa bersama. Sekarang, umur mereka sudah satu tahun. Sebenernya gua gak ada masalah sama mereka. Mereka tumbuh menjadi kucing yang damai, yang akrab satu sama lain. Bobby sih yang gak ada masalah. Tapi Mukidi lain cerita.
Mukidi sekarang mungkin dikenal di kalangan kucing sekitaran Jl. H. Alwi sebagai seekor kucing yang sedang pansos (Panjat Sosial). Tadinya, Mukidi adalah kucing rumahan yang cuman tau makan, tidur, sama main. Tapi sekarang dia liar, dia jadi kucing yang sok jagoan.
Setiap hari kerjaannya cuman pergi entah ke mana. Pulang cuman buat makan, abis itu ngabur entah kemana. Kadang kalo malem suka berantem. Naasnya, Mukidi pasti jadi kucing yang kalah terus ujung-ujungnya kabur ke teras rumah. Hampir setiap malem gua denger suara kucing berantem di teras rumah dan setiap gua buka pintu si Mukidi pasti lagi dipojokin kucing lawan sampe akhirnya gua keluar rumah lalu gua pisahin.
Bobby kadang keliatan bingung sama sikap si Mukidi yang tiba-tiba berubah ini. Kadang, kalo Mukidi lagi pulang Bobby ngeong, terus nyamperin dan ngendusin pantat si Mukidi, entah apa yang dia lakukan, padahal mereka sama-sama cowok. Gua enggak ngerti dunia kucing.
Mukidi bener-bener berubah belakangan ini. Tadinya setiap waktunya makan, dia bakal ngedatengin gua lalu ngeong dengan suara yang sekenceng geledek, lalu mengusap-usapkan badannya ke kaki gua. Sekarang, setiap waktu makan dia secara tiba-tiba pasti muncul entah darimana, ngeong dengan suara yang lebih kenceng dari geledek, lalu dia akan makan dengan suara yang mengerang. Seolah-olah gua, yang ngasih makan dia, mau ngambil whiskas yang lagi dia makan. Bego emang.
Mungkin Mukidi lagi pubertas. mungkin Mukidi lagi nyari cewek, mungkin juga memang sebenarnya Mukidi dan kucing kucing lainnya adalah jelmaan iblis yang suatu saat akan memakan pemiliknya. Tapi enggak, serius. Mungkin emang Mukidi sedang berubah. Ya, udah pasti Mukidi emang lagi berubah. Sama seperti hal-hal lain, pasti berubah.
Mukidi, si jelmaan iblis, cuman salah satu contoh dari sekian banyak hal yang bisa berubah. Motor berubah, dari Jupiter X sampe sekarang ada N-Max. Air minum kemasan berubah, dari dulu ada Teh Gelas yang bener-bener di gelas plastik, sampe sekarang Teh Gelas udah menyalahi kodratnya dan dikemas di dalam botol.
Semua berubah. Cepat atau lambat. Mau gak mau. Suka tidak suka. Karena tidak ada yang selamanya, semuanya bisa berubah.