Tegukan Kopi dan Cerita, Bagian 5: Aksara Sastra

Seandainya langit mampu memainkan warna, 
Lalu ia muak mendengar cerita tentangmu, 
Maka ia akan selamanya hitam kelam. 

Seandainya angin selalu berdesir kencang, 
Lalu ia membawa lagi cerita tentangmu, 
Ia bosan, menghampa, berdesir ke arah lain. 

Lalu jika laut yang jauh, 
Di biru pantulannya ia melihatku masih merimba karenamu, 
Pastilah ditenggelamkan matahari lebih cepat.

Namun, seandainya satu huruf aksara bosan menceritakanmu, 
Dua puluh enam yang lain, 
Masih bisa kugunakan untuk bercerita, 
Tentangmu. 



 "Lo gatau dia?" kata Ungu, merujuk ke seorang cowok yang pernah dia suka.

     "Enggak," jawab gua gak peduli, "Emang dia siapa?"

      "Ish, dia tuh banyak yang kenal," dengan mata yang mengawang lalu dia melanjutkan, "Jadi nih ya, setiap kita berdua jalan, pasti deh gua temenin dia ke Gramed. Di Gramed dia jelasin ke gue buku-buku mana yang bagus, terus pengarang-pengarangnya, ya gitu-gitu deh. Gue suka sama cowok yang bisa begitu."

     Dalam hati gua melotot, dalem hati.

     "Jadi dia tuh apa? Suka buku gitu?" tanya gua penasaran.

     "Iya, dia tuh suka sastra. Ya gitu-gitu deh. Dia tuh anak sastra banget." jawab Ungu.

     "Nah terus, kenapa sekarang lu enggak deket sama dia lagi?"

     Ungu memicingkan matanya dengan sendu, lalu dia memonyongkan bibirnya. Gua enggak ngada-ngada, dia kalo lagi sedih, kadang emang suka gak sadar memonyongkan bibirnya. "Ya.. Gitu.." jawab Ungu dengan nada yang sangat hopeless.

     "Ya gitu, kenapa?"

     "Ternyata, selama dia deket sama gua itu dia udah punya cewek." Lalu matanya kembali mengawang, dan sekarang bibirnya lebih dimonyongkan. Gua sudah sangat hapal ekspresinya ketika sedang sedih. Karena memang dari dulu, ketika dia sedang sedih, gua selalu mengusahakan agar diri gua bisa ada dan sebisanya menghibur.

      Inilah awal mula gua mulai menggilai sastra.
=
     SD kelas empat, ketika gua ditanya gua mau jadi apa, gua akan dengan enteng menjawab gua mau menjadi seorang Presiden, atau minimal Anggota Dewan. Lalu SD kelas lima, ketika gua ditanya gua mau jadi apa, gua akan dengan enteng lagi menjawab menjadi seorang Pemain Bola. Ujungnya, ketika gua SD kelas lima, ketika ditanya mau jadi apa, gua dengan pasrah akan menjawab, "Enggak tau deh, liat aja nanti."

     Semuanya berubah ketika gua dikenalin bukunya Raditya Dika saat gua kelas satu SMP. Sejak saat itulah gua mulai suka baca buku, walau enggak banyak. Seenggaknya ketika gua SMP adalah 5-7 buku Komedi yang udah gua baca, dan kebanyakan emang bukunya Raditya Dika. Mulai sejak saat itulah, gua kalo ditanya mau jadi apa, akan gua jawab dengan lantang dan yakin. "Penulis!"

     Lalu gua kenal dengan yang namanya musik. Mulailah gua menulis lagu dengan seadanya. Dengan suara gua yang fals, dan chords gitar yang cuman gua tau seadanya. Dua tahun kemudian, kenal-lah gua dengan yang namanya Film dan Screenwriting, yaitu proses penulisan skenario film. Belajar lah gua sedikit-dikit menulis skenario film.

    Di keduanya, gua menemukan ada kesamaan. Seseorang yang menulis lagu, dan seseorang yang menulis film, keduanya sama-sama mempunyai gelar Penulis. Jadi, kurang lebih inilah mungkin cita-cita yang selalu gua dambakan sejak kecil. Namun sayangnya, baru setelah cerita Ungu yang gua paparkan diatas lah gua baru sadar dengan keberadaan hal yang bernama Sastra.

     Dari situlah gua mulai mendalami Sastra. Esensinya, tokoh-tokohnya, dan lain sebagainya. Selain itu, gua juga diam-diam belajar sastra biar bisa dikata keren sama Ungu. Gua mulai belajar tentang saah satu hal yang paling mendasar, tapi jarang disadari oleh makhluk yang bernama manusia.

===

     Yang pertama kali gua ulik adalah Soe Hok Gie. 

     Bermodalkan kekepoan gua soal kondisi tahun 1965, gua menemukan seorang tokoh yang dikenal juga sebagai seorang sastrawan yang melankolis, Soe Hok Gie. Soe Hok Gie adalah seorang mahasiswa Fakultas Sastra Indonesia, yang lahir Desember 1942. Gie juga dikenal sebagai penggerak ulung pergerakkan-pergerakkan mahasiswa Indonesia. 

     Gua mulai membaca buku yang berjudul Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Gie merupakan seorang manusia yang berusaha memanusiakan dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Maksud gua adalah, dia berusaha mengerti dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Dia berusaha mengerti manusia. 

     Gie mulai melihat adanya kesalahan dari sistem yang manusia ciptakan sedari ia kecil. Ia pernah protes karena guru semasa sekolahnya mencurangi nilainya. Jadi, guru itu memberi nilai yang lebih besar kepada murid yang memiliki ikatan darah dengannya, padahal menurut Gie seharusnya nilainya lebih besar karena ia merasa lebih tau daripada anak yang diberi nilai lebih oleh guru tersebut. 

    Sombong? Bukan. 

     Gie sedari kecil memang merupakan anak yang rajin membaca. Banyak pengetahuan yang ia miliki. Luas wawasannya. Salah satu buktinya adalah ia pernah mendebat gurunya soal pembahasan Prosa 'Pulanglah Dia si Anak Hilang' karya Chairil Anwar. Guru Gie berpendapat bahwa prosa tersebut merupakan karya asli Chairil Anwar, walaupun bukan rahasia umum lagi bahwa Chairil Anwar pada dasarnya cuman menyadur karya Andre Gide. Lalu Gie, dengan berani menantang opini gurunya tersebut dengan anggapan bahwa sekali saduran tetaplah hanya sebuah saduran. Ia beranggapan bahwa sah-sah saja mengatakan bahwa Anwar adalah penyadur dari prosa Pulanglah Dia si Anak Hilang, tapi salah kalau mengatakan bahwa Anwar adalah penulis dari prosa tersebut. Terjadilah perdebatan hebat antara gurunya dan dia. Lalu sepulangnya ia hari itu setelah perdebatan, ia menulis di buku hariannya sebuah kata-kata yang masih sering menggema sampai hari ini, "Guru yang tak tahan keritik boleh masuk keranjang sampah, guru bukan dewa dan selalu benar." 

     "Gie mungkin bukan seseorang yang selalu benar, tapi dia selalu jujur," inilah kata-kata dari kakak dari Gie, Andi Budiman. Ini adalah opini yang paling benar menurut gua soal Soe Hok Gie. Dia adalah orang yang sangat anti kemunafikan. 

     Saat pergerakkan 1965, para mahasiswa bergerak menuntut diturunkannya Soekarno dari kursi kepresidenan. Pada saat itu semua mahasiswa bergerak dan mengecam keras pemerintahan. Namun, hal yang bertolak belakang justru terjadi pasca pergerakkan 1965, setelah jatuhnya Orde Lama, banyak teman-teman seperjuangannya masuk ke dalam perpolitikan Indonesia yang masih dianggap kacau balau oleh Gie. Bahkan, Gie sendiri sempat ditawarkan, namun ia menolak. 

     Gie menganggap hal ini adalah sebuah kemunafikan. Satu tahun sebelumnya mereka mengkritik habis-habisan perpolitikan yang mereka anggap kotor, lalu setahun kemudian mereka masuk ke dalam dunia perpolitikan yang kotor itu. Karena itulah lagi-lagi ia menulis sebuah catatan di bukunya yang mungkin masih sering kita dengar sampai hari ini, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan." 

     Sepanjang hidupnya, Gie merupakan seorang yang bergerak. Ia merupakan orang yang bergerak raganya demi apa yang dia percayai, dan bergerak hatinya lewat sastra yang ia sukai. Gie meninggal di Puncak Gunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969, satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke 27. Ia meninggal karena menghisap gas beracun. Sebelum meninggal, ia meninggalkan sebuah puisi yang beberapa barisnya merupakan favorit favorit untuk gua sampai saat ini. 

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah.. 
Ada orang yang menghabiskan waktunya berudi di Miraza..

Tapi aku ingin menghabiskan waktuku di sisimu, sayangku.. 

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.. 
Atau tentang bunga-bunga yang manis di Lembah Mandala Wangi.. 

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau.. 
Ada bayi bayi yang mati lapar di Biapra.. 

Tapi aku ingin mati di sisimu, Manisku.. 

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya..
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.. 

Mari sini sayangku.. 

Kalian yang pernah mesra..
Yang pernah baik, dan simpati padaku..
Tegaklah ke langit luas, atau awan yang mendung.. 

Kita tak pernah menanamkan apa-apa..
Kita tak kan pernah kehilangan apa-apa.. 

Soe Hok Gie
11 November 1969

====

     Selanjutnya, tokoh yang gua telusuri adalah Chairil Anwar. 

     Ia lahir pada tahun 1922. Ia adalah seorang binatang jalang yang mempelopori pergerakkan kebahasaan Indonesia pada tahun 1945. Ia adalah seorang yang disaat Bahasa Indonesia masih lemah dan digoyah dengan bahasa-bahasa lainnya, ia malah dengan lantang dan gagah menyuarakan Bahasa Indonesia lewat karya-karyanya. 

     Anwar bisa dikatakan seorang Binatang Jalang semasa hidupnya. Ia merupakan arti yang paling benar daripada sebuah kemerdekaan. Namun hal ini bukan berarti dia hidup tanpa nilai moral. Dia punya nilai moralnya sendiri. 

     Kalau Batman punya nilai moral yaitu untuk tidak membunuh seorang penjahat, karena pada dasarnya dia manusia, Anwar punya nilai moral juga, yaitu kejujuran harus diekspresikan, dengan cara yang sedekat mungkin dengan lingkungannya. Ia suka berjalan-jalan di sekitar rel kereta, dengan mata yang merah dan badan yang kurus hanya untuk menyelesaikan pertanyaan yang mungkin terlintas di pikirannya. Lalu setelah menemukan jawabannya, ia menuliskan semuanya di kertas-kertas puisinya. 

      Anwar dikenal sebagai seorang yang paling jujur dengan keadaan di sekitarnya. Ia merupakan saudara dari salah seorang bapak bangsa, yaitu Sutan Sjahrir. Namun, itu tidak pernah membuatnya tinggi hati atau bahkan memanfaatkan keadaan Sutan Sjahrir sebagai jembatan kesuksesannya dalam hidup. Anwar hidup tanpa bergantung pada siapapun, ia hidup dengan jujur, dengan caranya sendiri.

      Ia menikah dengan seorang wanita yang bernama Hapsah. Hapsah dan Anwar merupakan pasangan yang unik. Anwar memiliki nama panggilan sendiri untuk Hapsah, yakni Gajah. Hal ini dikarenakan badan Hapsah yang memang gemuk. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Evawani Alissa. Kehidupan mereka bertiga tidak serba berkecukupan. Hidup mereka susah, karena penghasilan Anwar yang memang tidak seberapa sebagai seorang seniman. Ditambah lagi sifat Anwar yang jalang, yang suka tidak pulang untuk beberapa hari atau bahkan minggu, hanya untuk mencari inspirasi untuk puisinya. 

    Hingga suatu saat Hapsah menggugat cerai Anwar. Anwar bisa dibilang terpukul akan hal ini, dan berniat untuk memperbaiki rumah tangganya. Hal ini ditunjukkan oleh niatnya yang akan membukukan seluruh puisinya dan hasil dari penjualannya ditujukan untuk anaknya dan Hapsah.

    Namun semuanya tidak berjalan sesuai dengan rencana. Anwar meninggal sebelum melihat puisinya dibukukan. Ia meninggal karena sakit. Sebetulnya orang-orang di sekitarnya banyak yang menyadari sakitnya ini, dan mereka juga selalu menyarankan agar Anwar diperiksa ke dokter, bahkan beberapa memaksa Anwar, tapi Anwar tetap menolak. Ia tidak mau pergi ke dokter. Karena sifat jalangnya inilah pada tanggal 28 April 1949 ia meninggal dunia. Namun, karena sifat jalangnya ini pula lah tanggal 28 April setiap tahun diperingati sebagai hari puisi nasional, dimana puisinya selalu mengaung dan tidak pernah mati. 

    Ada satu puisi yang merupakan favorit gua dari Chairil Anwar. Karena puisi ini menggambarkan kenyataan pedih yang berhasil dengan berani dia tuliskan.  

Tak Sepadan 

Aku kira: 
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak, dan bahagia 
Sementara aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta 
Tak satu juga pintu terbuka 

Jadi baik juga kita padami 
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa 
Aku terpanggang tinggal rangka 

1943 

======

     Sekarang gua akan bercerita sedikit tentang Aksara, dan manusia. 

     Kera yang tegak, atau Pithecantropus Erectus beribu-ribu tahun yang lalu berjalan di bumi Nusantara. Melenggak kesana-kemari, berburu binatang sebanyak mungkin. Hidup dari hutan ke hutan mencari makanan, nomaden. Lalu suatu saat disadarkan oleh alam, mereka perlu menetap. Menetaplah mereka di Abris Sous Roche, di gua-gua pinggir pantai. Dari sana, mereka mulai menuliskan apa yang ada di pikiran mereka lewat gambar.

     Awalnya hanya gambar-gambar telapak tangan dari generasi ke generasi yang terpajang, lama-kelamaan mulai lah digambar binatang-binatang buruan mereka. Berkembanglah lagi mereka, menjadi manusia yang pintar, mereka sudah naik level menjadi Homo Sapiens.

     Para Homo Sapiens ini membentuk kebudayaan yang lebih kompleks lagi di Bumi Nusantara. Dimulai dari Yupa di Kutai, sampai Babad di Tanah Jawi menjadi saksi perkembangan kebudayaan mereka, aksara mulai dipakai.

     Pada awalnya, memang aksara hanya dipakai untuk mencatat peristiwa. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di sekitar kita, lalu lama kelamaan, setelah evolusi yang cukup lama, aksara-aksara ini berkembang menjadi sebuah seni. Seni tulis menulis.

     Muncullah sastra ke permukaan. Bagi para penikmatnya, sastra adalah wadah untuk menuangkan emosi, atau pikiran. Sastra adalah penyejuk dikala panas. Tapi tidak, sastra lebih dari itu. Sastra merupakan aksara yang dahulu diciptakan oleh Homo Sapiens.

     Mungkin, dalam perkembangannya, Aksara hanyalah tulisan tanpa rasa. Mungkin dulu yang ada hanya kata 'Aku' dan 'Kamu'. Lalu seiring berkembangnya jaman, muncullah 'Aku dan Kamu' yang menambah rasa dari aksara-aksara tersebut. Lalu dimunculkanlah lagi suatu deskripsi rasa yang terlewat di dalam pikiran si penulis, yang sebelumnya hanya 'Aku dan Kamu' menjadi 'Aku dan Kamu. Tidak akan satu.' Mungkin seperti itu. Mungkin. 

     Jadi mungkin, pada dasarnya, Sastra merupakan kumpulan Aksara yang memiliki rasa. Berarti, sastra tidak hanya untuk orang-orang tertentu. Sastra tidak harus memperhatikan struktur kalimat, atau bahkan mempelajari semantik yang susah.

      Sastra adalah perasaan manusia yang dilukiskan lewat aksara. Sesederhana itu.
     
      Sastra tidak harus dibuat berbait-bait, berhalaman-halaman, atau berpuluh-puluh paragraf. Sastra tidak harus dibukukan. Sastra mungkin tidak sesusah yang pernah terlintas di pikiran kita. Sastra mungkin hanya sejujur dan sesederhana, "Aku, cinta kamu."

=======

Tentang Seorang Penyair 

Penyair tidak membunuh lewat pisau, 
Ia membunuh dalam kata yang merisau. 

Tidak, ia tidak mengumbar syair dalam alkohol yang meracuni, 
Ia berbagi syairnya dalam tumpahan sepahit-pahitnya tetes kopi. 

Penyair tidak meragu! 
Ia berteriak, menyuara, melagu! 

Dalam paginya ia menyair. 
Gila, di dunianya. 

Bukan dikagumi yang ia damba, 
Tapi hangat yang mencair. 

Berlari ia, keningnya berair. 
Tak peduli, terus dia membara. 

28.08.2017
20.24