Tegukan Kopi dan Cerita, Bagian 4: Soal Pulang

Kamu, 
Dimanapun sekarang kamu berpijak, 

Injaklah bumi! 
Melangkahlah dengan siapa yang kau sukai. 
Bernafaslah! 
Hembus angin penggerak awan. 
Tersenyumlah! 
Jangan kau tutupi. 

Lalu nanti,
pada suatu pagi atau sore, 
panas atau hujan, 

Kita akan kembali bertemu di tengah kerumunan, 
Sama tersenyum mengikat rindu, 
Lalu menertawakan waktu.. 



Suatu Sore di tengah antrean loket Stasiun Universitas Pancasila, gua melihat seorang anak kecil dengan uang recehan berada tepat di depan gua. Dengan kaos dan celana yang kumal dia asik menghitung uang sambil mengantri. Sesekali dia memperhatikan antrean dan maju selangkah demi selangkah sampai akhinya dia sampai di depan loket. 

     Dengan rada jinjit dia berusaha berbicara dengan petugas loket itu. Gua tidak mendengar dengan jelas apa yang diomongkan, tetapi gua dapat melihat dengan jelas gesture penolakkan dari si petugas loket terhadap si anak kecil yang membuat dia pergi dari antrean dengan muka yang kebingungan. 

     Karena penasaran, gua mendekati anak kecil itu. "Dek, kenapa?" tanya gua. 

     Dengan muka yang kebingungan dia menjawab, "Mau naik kereta, tapi gak dibolehin." 

     Tambah penasaran, gua mendekati loket tadi lalu bertanya ditengah-tengah antrean ke petugas loket, "Mas, ini adeknya kenapa gak boleh beli tiket?" 

     "Uangnya kurang mas." kata petugas loket yang berjaga. 

     Gua akhirnya kembali mendekati anak kecil tadi. Setelah gua perhatikan, ternyata di kantong celananya dia menyimpan sebuah kecrekan, yang dibuat dari botol yakult dan diisi beras, yang nongol karena kantong celananya yang kekecilan. Barulah disitu gua sadari kalo anak kecil ini adalah seorang pengamen.  

     "Kamu mau naik kereta kemana emang dek?" tanya gua. 

     "Mau pulang." jawabnya singkat 

     “Emang rumahnya dimana?” tanya gua.

     Dia menunjuk arah pasar minggu, “Disana”

    “Dimana?”

     “Di yang ada angkot merah 19,” katanya.
     
     “Di Tanjung Barat?”

     “Iya, Tanjung Barat.”

     “Oh, yaudah bentar ya.” Gua sekali lagi mengantri untuk membeli tiket. Kali ini gua membeli dua tiket untuk gua dan anak kecil ini. Setelah membeli tiket, gua dan anak kecil ini berjalan masuk ke stasiun.

    Di kiri kanan sepanjang perjalanan menuju peron, gua bisa merasakan tatapan banyak orang yang melihat kami berdua dengan aneh. Seorang anak sekolah dengan baju putih abu-abu berjalan beriringan dengan seorang anak berpakaian lusuh. Mereka menatap gua dan anak kecil ini dengan tatapan aneh, seolah-olah gua dan anak kecil ini telah melakukan suatu kejahatan.

     Bahkan di Peron Kereta seorang petugas provost datang menghampiri kami berdua. Lalu dia bertanya ke gua, “Dek, ini anak kecil ada tiketnya gak?”

     “Ada lah mas, masa iya gak ada.” jawab gua dengan rada jengkel.

     “Oh yaudah,” petugas itu lalu kembali ke tempatnya semula.

     Gua melihat ke anak kecil ini, dia kelihatan senang. Entah apa yang bikin dia senang. Tapi yang jelas, sedari tadi dia dengan antusias selalu melongok –ke kanan dan kiri— ke jalur kereta.
Gua memberanikan diri mencairkan suasana, “Dek, namanya siapa?”

     “Iwan” katanya.

     “Abis darimana? Kok sendirian?”

    “Abis ngamen”                                                

    “Oh,” jawab gua dengan mengangguk. Tidak lama kereta datang. Gua dan Iwan naik berbarengan.

     Gua dan Iwan duduk di salah satu gerbong yang cukup kosong. Lagi-lagi gua bisa merasakan tatapan orang-orang di sekitar gua yang menatap aneh ke arah gua dan Iwan. Mungkin mereka aneh melihat Iwan yang notabene pengamen bisa naik Commuter Line atau bahkan melihat gua yang mungkin mirip sama bos-bos preman yang lagi bawa anak buahnya yang paling kecil. Gua enggak perduli. Gua malah jadi tahu rasanya ditatap aneh dan diangggap sampah oleh orang-orang.
     
     Sepanjang perjalanan, Iwan selalu melihat ke luar jendela. Dia bahkan duduk menghadap ke jendela. Banyak pemikiran yang lalu terlintas di pikiran gua soal Iwan ini.
Gua taksir Iwan berumur 7 atau 8 tahun. Waktu gua seumuran Iwan, gua enggak merasakan apa yang dirasakan Iwan, yang gua lakukan saat seumuran dengan dia adalah main layangan, ngerental ps2, dan main bola di sekolah. Gua enggak merasakan tatapan aneh sekaligus benci orang-orang kepada gua yang mungkin selalu dirasakan Iwan saat itu. Pergi kemana-manapun saat seumuran Iwan, gua enggak pernah sendirian. Ke sekolah aja masih dianterin. Tapi Iwan beda cerita. Dia sendirian, di Jalanan Jakarta.

     Gak lama kemudian, kereta sampai di Stasiun Tanjung Barat. Gua dan Iwan turun. Anehnya, air muka Iwan saat turun kebingungan.

     “Ini dimana?” tanya Iwan.

     “Di Stasiun Tanjung Barat, yang ada angkot merah 19nya kan?” tanya gua.

     “Bukan, bukan ini tempatnya.” katanya.

     “Rumahnya Iwan dimana emang?” tanya gua rada panik.

     “Di terminal.” Katanya.

     “Oh,” gua baru sadar kalo di Stasiun Depoklah seharusnya Iwan turun, “Stasiun Depok bukan?”

     “Nah iyaa. Depok!” katanya.

     “Bener?” tanya gua meyakinkan yang dijawab Iwan dengan anggukan.

     “Yaudah ayok beli tiket lagi”

     Gua dan Iwan berjalan ke luar Stasiun, lalu membeli satu tiket ke Stasiun Depok. Setelah itu, gua menitipkan Iwan kepada seorang petugas Provost biar dibantu dan dianter ke Stasiun Depok. Untungnya, petugas yang gua minta ini ramah sama Iwan, jadinya gua rada lega.

     Iwan lalu pergi ke arah Peron untuk pulang, ia ditemani seorang petugas Provost. Sementara itu gua juga sudah keluar dari stasiun dan berjalan pulang ke rumah gua yang berada enggak jauh dari stasiun.

    Gua cuman berharap, mudah-mudahan Iwan sekarang udah sampe dengan selamat di rumahnya.
      
-

     Go Big, or Go Home! Kata- kata seperti ini sering kita lihat dimana-mana. Bahkan jujur, kata-kata ini merupakan wallpaper dari desktop laptop gua. Seandainya kata-kata ini adalah pertanyaan, maka jawaban yang akan gua pilih adalah, Go Home!

    Gua selalu ingin pulang ke rumah. Di rumah, gua selalu merasa aman. Aman dari binatang buas, cacing, bencong, dan dedemit-dedemit lainnya. Rumah, adalah tempat peristirahatan yang paling menyenangkan untuk hati yang lelah.

     Tapi terkadang, mungkin kita juga belum mengenal rumah kita sendiri dengan baik. Seperti Iwan yang enggak tau dengan pasti nama daerah rumahnya, atau bahkan arah pulangnya. Pada dasarnya, gua sama dengan Iwan. Tapi kalo ditelaah lebih kompleks, persamaan kami ini meruncing ke sebuah perbedaan.

      Tersesat. Adalah kata yang paling cocok untuk orang yang  kehilangan arah pulang, seperti gua dan Iwan. Bagi kami –orang orang yang tersesat— rumah hanyalah kata semu yang secara fisik mencerminkan tempat untuk pulang. Untuk Iwan, dia mau pulang ke suatu tempat yang nyata secara fisik. Tapi gua, saat ini sedang tersesat, mencari arah pulang ke suatu rumah yang gua sendiri enggak tau nyata atau enggak. Itulah perbedaan antara tersesatnya Iwan, dan tersesatnya gua.

      Rumah yang sedang gua cari kembali ini berada di sepasang buah bola mata teduh yang hanya satu orang perempuan yang punya. Gua tersesat mencari sebuah rumah yang terdengar seperti tawa akrab yang dulu gua sering denger. Gua sedang mencari lagi senyum seorang perempuan yang harus gua sadari, saat ini (atau mungkin, memang) enggak untuk gua.

     Tersesat itu subjektif. Tapi yang pasti tersesat hanya ditujukan bagi mereka yang kehilangan arah pulang. Kalo Iwan, kehilangan arah pulang mungkin karena ketidaktahuannya soal daerah rumahnya. Sedangkan gua kehilangan arah pulang karena mungkin, selama ini gua tidak pernah tersesat. Karena mungkin, selama ini rumah yang gua cari memang tidak pernah ada untuk gua.

Karena mungkin, mata yang teduh itu tidak pernah dicipta-Nya untukku.
Mata lelahku selamanya tidak dapat disandingkan dengan mata teduhmu.

Lalu mungkin, tawamu memang tidak pernah akrab ditelinga.
Hanya aku yang menghangat, menelanga.

Sehingga senyum itu bukan yang kucari.
Senyum yang selalu mengupu-menari.

Pada akhirnya, kau bukanlah rumah.
Kau adalah satu diantara banyak kemungkinan.
Yang pernah terlewat, lalu sengaja dipasrah.
Rumah yang selalu disemogakan.