Sekarang Apa?

Krek… Suara pintu rumah yang sedikit berdecit terdengar saat gue membuka pintu.

Dengan amat sangat kegerahan, gue buru-buru ke kamar untuk membuka jas yang sedari tadi terasa tidak nyaman di badan gue. gue baru saja selesai menghadiri acara perpisahan SMA gue. Acara yang sebenarnya rada malas gue hadiri karena menurut gue perpisahan bukanlah hal yang harus dirayakan secara bermewah-mewahan, tapi perpisahan seharusnya dirayakan dengan mengingat.

Gue berani mematahkan omongan orang yang bilang kalau masa SMA adalah masa terbaik di hidup ini. Karena faktanya memang enggak, mungkin cuma gue, masa SMA gue biasa aja. Masa SMA gue diisi oleh beberapa patah hati yang pada akhirnya mempertemukan gue dengan Grey yang berhasil melengkapi masa akhir SMA gue.

Selain itu, masa SMA gue juga diisi oleh beberapa orang teman yang sama-sama memiliki otak miring dan nasib yang sama-sama flat dengan gue. Mulai dari teman-teman ekskul musik yang pada akhirnya berhasil menang lomba, teman-teman yang berhasil mendirikan ekskul bulutangkis, sampai teman-teman seperjuangan dan sepemikiran gue yang semuanya benar-benar gue syukuri keberadaannya. If you guys read this one day, just know that i appreciate you all!  

Gue merogoh kantong, lalu mengeluarkan sebuah medali tanda kelulusan. Sebuah medali berbentuk lingkaran dengan logo SMAN 38 tepat di tengahnya. Sebuah logo yang akan mengingatkan gue soal Mars 38 yang harus dinyanyikan 2 kali setiap hari senin saat upacara bendera. Yang akan mengingatkan gue soal hujan deras pertama yang turun waktu gue kelas 10, yang menyebabkan gue harus menunggu di sekolah sampai sore. Logo yang juga akan mengingatkan gue soal bau ruangan BP yang gue masuki pertama kalinya karena ketahuan cabut ke studio musik waktu masih berstatus murid baru.

Gue tersenyum, lalu mengaitkan medali ini di sebuah paku, bertumpuk dengan nametag ospek, medali kelulusan SMP, dll. Gue lalu terduduk, teringat obrolan gue dengan teman gue setahun lalu.

****

Ujian sekolah baru saja selesai. Gue dan Onad duduk santai di sebuah warkop. Onad merokok, sementara gue sedang meminum Kuku Bima, gelas yang ke-2. Ya, gue memang tidak waras.

“Gila.” respon Onad melihat gue menenggak Kuku Bima yang kedua. “Gua pernah baca kalo orang minum kuku bima tapi gak diseduh mati Lun, anying.”

“Ye siapa suruh gak di seduh. gue kan diseduh. Sehat lah.” Sahut gue.

“Iya juga sih ya,”

Dahi gue naik mengingat sesuatu, “Dua bulan lagi kita udah jadi agit, Nad. Musuh kita udah US, UN, SBM, dll. Gila gak berasa banget,”

“Iya yak.” Onad mengernyit bego, “Gak berasa.”

“Lu jadi masuk Akpol?” tanya gue.

“Enggak deh, masuk Akpol tuh Wolverine doang yang kuat kayaknya. Persyaratannya banyak, saingannya juga banyak. Lu ke mana?”

“Enggak tau deh. Mudah-mudahan UI Sastra Indonesia sih,” gue lalu tertawa kecil, “Gila ya, lulus aja belom sekarang kita udah kepikiran beginian. Cepet banget, perasaan baru kemaren gue ospek.”

Onad mengangguk setuju sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. gue melihat ke arah gelas gue dan ternyata sudah kosong, tinggal es batu, gue berpikiran untuk lanjut memesan gelas ke-3 dari Kuku Bima. Untungnya, saat itu gue masih ingin hidup, gue gak jadi memesan dan akhirnya cuma gigitin es batu yang ada di gelas.  

Sekarang gue udah tiduran di kasur. Banyak hal yang melintas di pikiran gue. Soal masa depan, liburan setelah ujian yang amat banyak, sampe tulisan-tulisan yang belum sempat gue tulis.

“Apa semua orang ngerasain kebingungan ini setelah lulus SMA, ya?” tanya gue dalam hati.

Iya, sekarang penderitaan gue untuk berangkat pagi buta ke sekolah sudah selesai. gue sudah resmi bukan anak SMA. Sekarang apa?